Indische Partij: Mengapa Dianggap Pelopor Politik Indonesia
Guys, pernah nggak sih kita bertanya-tanya, organisasi politik pertama di Indonesia itu apa ya? Pasti banyak yang langsung mikir ke Budi Utomo atau Sarekat Islam. Tapi, ada satu nama yang seringkali disebut-sebut sebagai pelopor sejati dalam ranah politik, yaitu Indische Partij. Nah, dalam artikel ini, kita bakal kupas tuntas mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia. Ini bukan sekadar klaim, lho, tapi didukung oleh karakteristik dan perjuangan mereka yang memang revolusioner di zamannya. Jadi, siap-siap ya, kita bakal jalan-jalan ke masa lalu untuk memahami betapa pentingnya peran mereka dalam membidani lahirnya kesadaran politik di Nusantara!
Indische Partij itu bukan sekadar perkumpulan biasa, guys. Mereka hadir di tengah kancah politik kolonial Hindia Belanda dengan membawa ide-ide yang sangat berani dan progresif untuk zamannya. Berdiri pada tahun 1912, organisasi ini secara terang-terangan menyerukan kemerdekaan dan persamaan hak bagi semua Indiers (sebutan untuk penduduk Hindia Belanda, baik pribumi, Indo-Eropa, maupun keturunan asing lainnya yang merasa terikat pada tanah air ini). Ini adalah lompatan besar dari organisasi-organisasi sebelumnya yang lebih berfokus pada ranah sosial, budaya, atau ekonomi. Mereka tidak hanya bicara soal peningkatan kesejahteraan atau pendidikan, tapi langsung menuntut perubahan struktur kekuasaan kolonial yang saat itu masih sangat kokoh. Bayangin aja, di awal abad ke-20, ketika banyak orang masih berpikir dalam lingkup kedaerahan atau kelas, Indische Partij sudah berani mengangkat isu kebangsaan dan kemerdekaan yang melampaui sekat-sekat tersebut. Mereka sadar betul bahwa untuk mencapai kemajuan yang hakiki, fondasi politik kolonial harus dirombak total. Keberanian inilah yang membuat Indische Partij menonjol dan pantas disebut sebagai pionir. Mereka menjadi mercusuar bagi gerakan-gerakan selanjutnya, membuktikan bahwa perlawanan politik yang terorganisir adalah jalan yang harus ditempuh. Jadi, bukan tanpa alasan kalau sejarah menempatkan Indische Partij di posisi terdepan dalam genealogi politik bangsa kita. Mereka adalah pendobrak yang membuka jalan bagi narasi kemerdekaan yang lebih luas dan terstruktur. Ini adalah kisah tentang bagaimana sekelompok orang berani bermimpi besar dan mewujudkan aspirasi politik yang fundamental di tengah cengkeraman penjajahan. Sungguh inspiratif, bukan?
Pendahuluan: Mengapa Indische Partij Begitu Penting?
Kita mungkin sering mendengar nama Budi Utomo atau Sarekat Islam sebagai organisasi-organisasi perintis pergerakan nasional. Tapi, guys, kalau kita bicara soal organisasi politik pertama di Indonesia, banyak sejarawan yang sepakat menunjuk Indische Partij (IP). Kenapa begitu? Nah, di sinilah letak keunikan dan kepentingannya. IP, yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912, memang muncul setelah Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1911), namun karakteristik dan tujuan yang diusungnya sangat berbeda, membuatnya layak menyandang predikat sebagai pelopor politik. Mereka tidak hanya sekadar perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, budaya, atau ekonomi, melainkan secara eksplisit dan tegas menyatakan diri sebagai partai politik dengan tujuan yang sangat jelas: kemerdekaan Hindia Belanda dari penjajahan Belanda. Ini adalah sebuah statement yang sangat berani dan revolusioner pada zamannya, yang belum pernah disuarakan oleh organisasi-organisasi lain dengan formulasi yang semilitan Indische Partij. Tujuan ini pula yang membedakannya dari kelompok-kelompok sebelumnya yang cenderung bersifat kooperatif atau hanya menuntut perbaikan nasib di bawah pemerintahan kolonial. Indische Partij melihat akar masalahnya ada pada sistem kolonial itu sendiri, dan solusinya adalah kemerdekaan politik. Mereka juga tidak hanya berfokus pada satu golongan, tapi merangkul semua Indiers – baik pribumi, Indo-Eropa, maupun Tionghoa dan Arab – yang merasa senasib sepenanggungan sebagai penghuni tanah ini dan menginginkan kemajuan bagi negerinya. Konsep nasionalisme yang diusung Indische Partij ini adalah nasionalisme kebangsaan yang inklusif, bukan hanya etnis atau agama tertentu, menjadikannya sangat modern dan relevan hingga kini. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia. Mereka tidak hanya bicara, tapi juga bergerak dengan struktur partai yang jelas, memiliki anggaran dasar, program kerja, bahkan media massa sendiri yaitu surat kabar De Express untuk menyuarakan aspirasi dan propaganda mereka. Dengan demikian, IP bukan hanya perintis dalam ide, tetapi juga dalam bentuk dan mekanisme perjuangan politik yang terorganisir. Mereka membangun sebuah fondasi penting bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa depan, menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa ini sudah siap dan berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Singkatnya, IP adalah lompatan kuantum dalam sejarah pergerakan nasional kita, mengubah paradigma perjuangan dari yang semula bercorak sosial-kultural menjadi murni politis dan menuntut kedaulatan penuh. Keberanian dan visi inilah yang patut kita kenang dan teladani dari para tokoh Indische Partij, yang berani bersuara lantang di tengah dominasi kolonial.
Latar Belakang dan Konteks Awal Abad ke-20 di Hindia Belanda
Untuk benar-benar memahami mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia, kita perlu menilik sedikit ke belakang, ke kondisi sosial-politik di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Guys, waktu itu, situasi di tanah air kita ini tuh lagi panas-panasnya dan penuh dinamika. Pemerintah kolonial Belanda memang sudah menerapkan apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis sejak tahun 1901. Tujuan resminya sih baik, katanya untuk balas budi atas penderitaan rakyat pribumi akibat tanam paksa dan eksploitasi lainnya. Programnya meliputi edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan emigrasi (perpindahan penduduk). Nah, di sinilah letak ironinya. Meskipun niatnya katanya baik, implementasinya seringkali pincang dan lebih banyak menguntungkan pihak Belanda sendiri. Tapi, efek samping dari Politik Etis ini justru jadi bumerang bagi Belanda. Program pendidikan, khususnya, tanpa disadari telah melahirkan generasi baru pribumi terpelajar yang mulai sadar akan hak-hak mereka dan ketidakadilan yang mereka alami. Mereka mulai mengenal ide-ide liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi dari Barat, yang kemudian mereka bandingkan dengan realitas pahit penjajahan di tanah air mereka sendiri. Orang-orang terpelajar ini mulai mempertanyakan legitimasi kekuasaan kolonial. Selain itu, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pribumi yang masih terpuruk di bawah cengkeraman kolonial juga menjadi ladang subur bagi tumbuhnya rasa tidak puas dan semangat perlawanan. Diskriminasi rasial sangat kentara di segala lini kehidupan, mulai dari akses pendidikan, pekerjaan, hingga fasilitas umum. Kelas sosial ditentukan berdasarkan garis keturunan dan ras, dengan Eropa di puncak piramida, diikuti oleh Timur Asing (Tionghoa, Arab, India), dan pribumi di dasar. Ketidakadilan ini tidak hanya dirasakan oleh pribumi, tapi juga oleh sebagian Indo-Eropa yang lahir dan besar di Hindia Belanda, namun tetap dianggap warga kelas dua oleh Belanda totok (asli). Mereka merasa menjadi bagian dari tanah ini, bukan bagian dari Belanda. Mereka inilah, para Indiers yang terpelajar dan sadar politik, yang kemudian menjadi tulang punggung lahirnya Indische Partij. Mereka melihat bahwa organisasi-organisasi yang sudah ada, seperti Budi Utomo yang fokus pada kebudayaan Jawa atau Sarekat Islam yang lebih banyak bergerak di bidang perdagangan dan agama, belum cukup untuk mengatasi masalah fundamental kolonialisme. Dibutuhkan sebuah wadah yang lebih berani, lebih inklusif secara rasial untuk semua penduduk yang merasa Indisch, dan yang paling penting, punya tujuan politik yang jelas: menuntut kemerdekaan. Konteks inilah yang melahirkan kebutuhan akan sebuah partai politik yang benar-benar bisa menyuarakan aspirasi politik anti-kolonial secara terorganisir dan tegas. Jadi, Indische Partij tidak muncul di ruang hampa, melainkan sebagai respons langsung terhadap gejolak dan ketidakpuasan yang mendalam di Hindia Belanda pada masa itu, didorong oleh munculnya kesadaran kolektif dari berbagai kelompok yang merasa menjadi bagian dari satu bangsa baru yang sedang terbentuk. Ini adalah periode penting yang membuka jalan bagi pergerakan nasional yang lebih radikal dan terstruktur.
Siapakah Para Pendiri Indische Partij? Tiga Serangkai yang Legendaris
Nah, guys, ngomongin tentang mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia, kita nggak bisa lepas dari peran sentral para pendirinya yang legendaris, yang kita kenal sebagai Tiga Serangkai. Mereka adalah sosok-sosok yang visioner, berani, dan berintegritas tinggi untuk zamannya. Ketiga tokoh ini adalah Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Masing-masing dari mereka punya latar belakang yang unik, tapi disatukan oleh satu visi yang sama: kemerdekaan Hindia Belanda dan persamaan hak bagi semua penduduknya. Douwes Dekker, misalnya, adalah seorang Indo-Eropa yang lahir di Pasuruan, Jawa Timur. Dia punya darah Belanda dan Jawa, sehingga dia merasakan langsung bagaimana menjadi seorang Indisch yang seringkali terjepit di antara dua dunia dan tidak sepenuhnya diterima oleh Belanda murni. Pengalamannya inilah yang membuatnya sangat kritis terhadap kebijakan kolonial dan menjadi salah satu motor penggerak utama IP. Ia adalah seorang jurnalis ulung dengan tulisan-tulisannya yang tajam dan provokatif, seringkali menyerukan kebangsaan Hindia yang melampaui sekat-sekat rasial. Ia punya keberanian untuk lantang bersuara dan tidak takut menghadapi konsekuensi dari pemerintah kolonial. Lalu ada dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang dokter pribumi yang berpendidikan tinggi dan berasal dari kalangan priyayi. Namun, ia tidak nyaman dengan status quo dan melihat ketidakadilan di mana-mana. Tjipto adalah sosok yang rasionalis dan pragmatis, ia sangat peka terhadap penderitaan rakyat kecil dan selalu berjuang untuk kesetaraan. Ia tidak sungkan mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak pro-rakyat, dan berani menentang diskriminasi rasial yang merajalela. Tjipto dikenal dengan semangatnya yang membara dan komitmennya yang kuat terhadap cita-cita kebangsaan. Terakhir, ada Suwardi Suryaningrat, atau yang lebih kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Ia juga berasal dari keluarga priyayi Jawa yang terpandang, dan awalnya adalah seorang jurnalis serta aktivis yang sangat vokal. Meskipun akhirnya lebih dikenal sebagai bapak pendidikan nasional, di awal pergerakannya, Suwardi adalah seorang nasionalis radikal yang berani mengkritik Belanda secara terbuka. Esai-nya yang terkenal, "Als Ik Eens Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), adalah sebuah satir pedas yang menyentil hipokrisi pemerintah kolonial dalam merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, sementara mereka sendiri menjajah bangsa lain. Ketiga tokoh ini membentuk trisula yang mematikan bagi kolonialisme. Mereka tidak hanya punya visi, tapi juga punya strategi dan kekuatan intelektual untuk merumuskan ide-ide politik yang canggih. Douwes Dekker membawa pengalaman jurnalistik dan pandangan Indisch yang inklusif, Tjipto membawa semangat kesetaraan dan kepedulian sosial, sementara Suwardi membawa semangat radikalisme dan keberanian berargumentasi. Bersama-sama, mereka menciptakan sebuah kekuatan politik yang belum pernah ada sebelumnya di Hindia Belanda, sebuah organisasi yang secara gamblang menuntut kemerdekaan dan persamaan hak, bukan sekadar perbaikan-perbaikan kecil. Kehadiran Tiga Serangkai inilah yang memberikan Indische Partij bobot dan arah politik yang jelas, menjadikannya tonggak sejarah penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka adalah bukti nyata bahwa persatuan lintas etnis dan keberanian intelektual bisa menggerakkan roda perubahan politik yang signifikan.
Karakteristik Unik Indische Partij sebagai Organisasi Politik Sejati
Sekarang, mari kita bedah lebih dalam mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia dengan melihat karakteristik uniknya. Ini bukan cuma soal label, guys, tapi ada alasan fundamental di baliknya. Yang paling mendasar dan membedakan IP dari organisasi sezaman lainnya adalah tujuan politiknya yang eksplisit dan radikal. Sementara Budi Utomo (1908) fokus pada kebudayaan dan pendidikan Jawa, dan Sarekat Islam (1911) awalnya bergerak di bidang ekonomi dan agama, Indische Partij secara tegas dan tanpa kompromi menyatakan tujuannya: mencapai kemerdekaan Hindia Belanda dari kekuasaan Belanda dan mendirikan pemerintahan yang dipegang oleh semua Indiers. Ini adalah tuntutan politik murni yang belum pernah disuarakan oleh organisasi lain secara terorganisir. Mereka tidak lagi bicara soal perbaikan nasib atau kemajuan sosial ekonomi di bawah kolonialisme, melainkan langsung menuntut perubahan fundamental pada struktur kekuasaan. Karakteristik kedua adalah keanggotaannya yang inklusif dan non-rasial. IP adalah organisasi pertama yang secara terbuka menerima anggota dari berbagai latar belakang etnis yang berdomisili di Hindia Belanda, asalkan mereka mengakui Hindia Belanda sebagai tanah airnya dan berjuang untuknya. Konsep Indiers yang diusung Douwes Dekker adalah sebuah ide yang sangat maju, melampaui sekat pribumi, Indo-Eropa, Tionghoa, atau Arab. Mereka percaya bahwa semua yang lahir dan merasa memiliki tanah ini harus bersatu sebagai satu bangsa. Ini adalah embrio nasionalisme kebangsaan yang inklusif, yang kemudian menjadi dasar bagi konsep Indonesia modern. Mereka sadar bahwa perjuangan melawan kolonialisme membutuhkan persatuan yang kuat tanpa memandang ras atau keturunan. Ketiga, struktur organisasi yang jelas dan media propaganda yang efektif. IP memiliki anggaran dasar, program kerja, dan kepengurusan yang terstruktur layaknya sebuah partai politik modern. Mereka juga sangat aktif dalam menyebarkan ide-ide mereka melalui surat kabar De Express dan Het Tijdschrift. Melalui media massa ini, mereka tidak hanya mengkritik kebijakan kolonial tetapi juga mendidik masyarakat tentang pentingnya kesadaran politik dan perjuangan kemerdekaan. Penggunaan pers sebagai alat perjuangan politik ini adalah sebuah inovasi yang sangat efektif dan powerful pada masanya, mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dan menyulut semangat anti-kolonial. Keempat, pendekatan yang konfrontatif dan anti-kooperatif. Berbeda dengan beberapa organisasi lain yang cenderung mencari jalan kooperatif atau moderat dengan pemerintah kolonial, IP memilih jalur konfrontasi. Mereka tidak takut untuk mengkritik Belanda secara pedas, menuntut hak-hak politik, dan bahkan menyerukan tindakan-tindakan non-kooperasi. Keberanian mereka dalam menentang pemerintah kolonial secara langsung inilah yang menunjukkan sifat politis mereka yang sesungguhnya. Mereka tidak segan-segan menantang status quo dan siap menghadapi risiko, termasuk pengasingan, demi cita-cita kemerdekaan. Ini adalah ciri khas sebuah partai politik yang militan dan berani mengambil risiko demi tujuan ideologisnya. Semua karakteristik ini menegaskan bahwa Indische Partij bukan sekadar perkumpulan, melainkan sebuah kekuatan politik yang terorganisir dengan tujuan yang jelas, keanggotaan yang luas, alat propaganda yang kuat, dan pendekatan yang berani. Inilah yang membedakannya dari organisasi sebelumnya dan mengukuhkannya sebagai organisasi politik pertama yang meletakkan dasar bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan dan Dampak Indische Partij: Mengguncang Dominasi Kolonial
Setelah kita tahu siapa saja para pendirinya dan apa saja karakteristik uniknya, sekarang kita bahas soal perjuangan dan dampak Indische Partij. Ini penting banget, guys, untuk memahami mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia dan betapa signifikan perannya dalam mengguncang dominasi kolonial. IP ini bukan cuma teori belaka, lho, tapi mereka benar-benar melakukan aksi-aksi nyata yang sangat berani dan provokatif di masanya. Salah satu momen paling ikonik adalah ketika Suwardi Suryaningrat, salah satu dari Tiga Serangkai, menulis artikel pedas berjudul "Als Ik Eens Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) pada tahun 1913. Artikel ini adalah bentuk protes keras terhadap rencana pemerintah kolonial Belanda yang ingin merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, padahal di saat yang sama mereka masih menjajah bangsa lain. Bayangin, guys, di masa itu, menulis kritik sepedas itu kepada penjajah adalah tindakan yang sangat berbahaya dan bisa berujung pada penangkapan. Tapi Suwardi, didukung oleh semangat IP, berani melakukannya. Artikel ini bukan hanya mengkritik, tapi juga menyentil kesadaran banyak orang tentang hipokrisi kolonialisme. Selain itu, Indische Partij juga sangat aktif dalam menggalang dukungan publik melalui berbagai rapat umum, diskusi, dan tentu saja, melalui surat kabar De Express yang menjadi corong utama mereka. Mereka menyuarakan pentingnya kesetaraan hak, menentang diskriminasi rasial, dan secara konsisten menuntut pemerintahan sendiri bagi Hindia Belanda. Pesan-pesan mereka yang lugas dan berani ini berhasil menyentuh hati dan pikiran banyak Indiers, termasuk pribumi terpelajar, Indo-Eropa, dan etnis lainnya, yang mulai menyadari pentingnya persatuan dan perjuangan politik. Dampak dari perjuangan Indische Partij ini tidak main-main. Pemerintah kolonial Belanda jelas merasa terancam dengan keberadaan dan sepak terjang mereka. Aktivitas IP yang semakin vokal dan terang-terangan menuntut kemerdekaan dianggap sebagai ancaman serius bagi kestabilan kekuasaan kolonial. Akibatnya, pada tahun 1913, pemerintah kolonial mengambil tindakan tegas. Indische Partij dilarang beroperasi, dan ketiga tokoh sentralnya – Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat – dijatuhi hukuman pengasingan ke Belanda. Ini adalah konsekuensi pahit dari keberanian mereka, namun di sisi lain, pengasingan ini justru semakin memperkuat citra mereka sebagai pejuang sejati dan menumbuhkan simpati publik. Meski secara organisasi IP dibubarkan, semangat dan ide-ide yang mereka tanamkan tidak pernah padam. Justru, pengasingan Tiga Serangkai ini menjadi api pemicu bagi munculnya gerakan-gerakan nasionalis lainnya di kemudian hari. Mereka menunjukkan bahwa perlawanan politik terorganisir itu mungkin, dan bahwa aspirasi kemerdekaan itu adalah tujuan yang layak diperjuangkan, bahkan dengan segala risikonya. Dampak jangka panjang dari IP sangatlah besar. Mereka telah meletakkan fondasi ideologis bagi nasionalisme Indonesia yang lebih luas, mengajarkan pentingnya persatuan lintas etnis, dan menunjukkan bahwa perjuangan politik adalah jalan yang efektif untuk mencapai tujuan kemerdekaan. Banyak tokoh pergerakan nasional selanjutnya yang terinspirasi oleh keberanian dan visi Indische Partij. Jadi, bisa dibilang, Indische Partij memang berhasil mengguncang dominasi kolonial dan membuka mata banyak orang tentang pentingnya perjuangan politik untuk mencapai kemerdekaan sejati. Mereka adalah pionir yang membuka jalan.
Kesimpulan: Warisan Abadi Sang Pelopor
Jadi, guys, setelah kita menelusuri panjang lebar perjalanan Indische Partij, sekarang kita bisa lebih jelas memahami mengapa Indische Partij dianggap sebagai organisasi politik pertama di Indonesia. Predikat ini bukan sekadar gelar kehormatan, tapi didasari oleh karakteristik dan perjuangan mereka yang sangat fundamental dalam sejarah pergerakan nasional kita. Indische Partij adalah yang pertama berani secara eksplisit dan terorganisir menuntut kemerdekaan Hindia Belanda, bukan sekadar perbaikan kecil-kecilan dalam sistem kolonial. Mereka memiliki visi politik yang jelas, bukan sekadar perkumpulan sosial atau budaya. Ini adalah perbedaan krusial yang memisahkan mereka dari organisasi-organisasi sebelumnya. Dengan adanya Indische Partij, perjuangan melawan penjajah berubah wajah dari yang semula lebih banyak bersifat kedaerahan atau berbasis pada isu-isu sosial-ekonomi, menjadi sebuah perjuangan politik kebangsaan yang terstruktur dan terarah. Mereka mengibarkan panji-panji persatuan lintas etnis melalui konsep Indiers, menunjukkan bahwa semua yang lahir dan mencintai tanah ini adalah satu bangsa, tanpa memandang ras atau keturunan. Ini adalah embrio nasionalisme Indonesia modern yang inklusif, sebuah ide yang sangat maju untuk zamannya dan menjadi dasar bagi Republik Indonesia yang kita kenal sekarang. Para pendirinya, Tiga Serangkai yang legendaris – Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat – adalah tokoh-tokoh yang berani, cerdas, dan punya integritas. Mereka tidak takut menentang kekuasaan kolonial secara terbuka, bahkan dengan risiko pengasingan dan penderitaan. Tulisan-tulisan tajam dan provokatif mereka, serta penggunaan surat kabar De Express sebagai alat propaganda, adalah bukti betapa canggihnya strategi politik mereka dalam menyulut kesadaran dan semangat perlawanan di kalangan masyarakat. Meskipun usia Indische Partij relatif singkat karena dibubarkan oleh pemerintah kolonial, namun dampak dan warisannya sangat abadi. Mereka telah menanamkan benih-benih kesadaran politik dan semangat nasionalisme yang kemudian tumbuh subur di kalangan generasi muda pejuang kemerdekaan. Banyak tokoh pergerakan nasional selanjutnya yang terinspirasi oleh keberanian dan ide-ide Indische Partij. Mereka adalah pionir yang membuka jalan, menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah tujuan yang bisa dan harus diperjuangkan secara politik. Jadi, kalau ada yang bertanya lagi kenapa Indische Partij itu penting, jawabannya adalah karena mereka adalah pelopor sejati yang mengubah arah perjuangan, dari yang semula bercorak parsial menjadi menyeluruh, dari yang semula kooperatif menjadi konfrontatif, dan dari yang semula berorientasi sosial-budaya menjadi murni politis dengan tujuan kemerdekaan. Mereka adalah cerminan dari keberanian, visi, dan semangat pantang menyerah yang harus terus kita ingat dan teladani. Mari kita apresiasi warisan Indische Partij sebagai fondasi penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita nikmati saat ini. Sungguh, mereka adalah pahlawan yang tak boleh dilupakan dalam lembaran sejarah kita!